Mahasiswa Prodi Magister Kimia Mengikuti Studium Generale Seluruh Program Magister, Doktor dan Profesi di Universitas Islam Indonesia

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Kuliah Umum XIII bertemakan Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju pada Sabtu 30 Oktober 2021, secara daring. Agenda rutin yang digelar untuk mahasiswa Program Doktor, Magister, dan Profesi UII kali ini menghadirkan pembicara Sukidi, Ph.D., yang merupakan Pemikir Kebinekaan.

Membuka kuliah umum, Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengemukakan permusuhan atas nama agama, apapun agamanya, tidak dapat diterima. Nilai-nilai perenial agama justru seharusnya, membawa manusia kepada kebaikan, sikap saling menghormati, dan perdamaian.

“Jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan itu adalah fakta sosial, dan bisa terjadi di semua agama. Tetapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta,” tutur Prof. Fathul Wahid.

Fakta sosial lain, menurut Prof. Fathul Wahid, sebagian orang mempunyai perspektif yang berbeda dengan yang dibayangkan kelompok lain. Mengutip Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilization, Islam diasosiasikan dengan “jeroan berdarah” (“bloody innards”) atau “batas-batas berdarah” (“bloody borders”).

Lebih lanjut dipaparkan Prof. Fathul Wahid, survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (Lipka, 2017) memberikan gambaran lebih mutakhir bagaimana atribusi yang cenderung negatif terhadap kelompok yang berbeda itu nyata adanya. “Survei yang dilakukan di negara-negara dengan pemeluk Islam mayoritas, orang Barat dipersepsikan egois, brutal, rakus, amoral, arogan, dan fanatik,” tutur Prof. Fathul Wahid.

“Sebaliknya, orang Barat memberikan atribusi kepada muslim; fanatik, jujur, brutal, dermawan, arogan, dan egois. Kombinasi atribut yang tidak lazim dan sulit dibayangkan untuk menyatu dengan harmoni,” jelas Prof. Fathul Wahid.

Prof. Fathul Wahid menambahkan, ajarah Islam tidak mempunyai korelasi dengan konflik diamini oleh Fuller (2010), mantan pentolan CIA, yang terekam dalam bukunya A World without Islam.

“Secara hipotetik, dalam sebuah diskusi di Rumi Forum, sebuah lembaga yang didirikan di Washington DC untuk dialog antaragama dan antarbudaya, Fuller menyatakan bahkan jika Islam dan Nabi Muhammad tidak pernah ada, hubungan antara Barat, terutama Amerika Serikat, dan Timur Tengah tidak akan berbeda jauh,” terang Prof. Fathul Wahid.

Karenanya, menurut Prof. Fathul Wahid, merevitalisasi peran agama saat ini menjadi semakin penting, ketika fakta di lapangan memerlukan penjelasan yang lebih canggih.

Pemikir Kebinekaan, Sukidi, Ph.D. dalam Kuliah Umum menegaskan perilaku negatif sebagian Muslim di Indonesia itu telah menutup jatidiri Islam sebagai agama yang menganjurkan kedamaian.

Sukidi mengutip pendapat Pemikir Pembaru Islam Mesir, Muhammad Abduh: “al-islamu mahjubun bil muslimin/ Islam tertutup oleh umat Islam,” untuk melukiskan berbagai problem yang mendera umat Islam seperti ujaran kebencian, korupsi, diskriminasi, dan lain-lain. Dengan kata lain, cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran luhurnya.

Sebagai Muslim, ujar Doktor Kajian Islam dari Universitas Harvard Amerika Serikat itu, umat boleh berbangga dengan jumlah pengikutnya yang mayoritas, tetapi fakta itu harus dibarengi dengan kontribusi positif yang mampu mengerahkan umat untuk menghadirkan kemajuan, menjadi pelindung, menjamin kerukunan, dan harmoni di tengah masyarakat.

Selain itu, Sukidi juga menggelorakan pentingnya visi baru Islam yang menjadi panduan untuk reformasi Islam sekaligus memberi arah yang jelas kepada umat Islam dalam menjalani kehidupan di negeri yang mejemuk seperti Indonesia ini.

Visi Baru Islam yang dikumandangkan Sukidi yakni Islam sebagai Agama Kebinekaan, Islam sebagai Agama Persatuan, Islam sebagai Agama Kesetaraan, Islam sebagai Agama Kebebasan, dan Islam sebagai Agama Kemanusiaan. Sukidi menilai lima visi baru Islam ini sangat penting untuk didesakkan ke setiap sanubari umat Islam agar menjadi kesadaran yang menjiwai setiap tingkah laku seorang Muslim.

Merangkum pidatonya, Sukidi mengungkapkan, jika umat menjiwai spirit Islam di atas, ia meyakini bangsa Indonesia akan bergerak maju dan memberikan kemakmuran bagi warga negaranya. “Kita harus berbenah mulai hari ini agar kebanggaan sebagai umat terbesar berbanding lurus dengan kemajuan umat dan bangsa,” tegas Sukidi. (MRS/RS)

Source (https://www.uii.ac.id/visi-baru-islam-untuk-indonesia-maju/)