Alfi Ihda Amalia, dkk., Mahasiswa Prodi Kimia Kembangkan Alat Pendeteksi Gas Beracun Gunung Berapi

 Terletak di antara kawasan cincin api Pasifik dan titik pertemuan lempeng-lempeng tektonik utama dunia menjadikan wilayah Indonesia rawan dengan potensi bencana yang berasal dari gunung berapi aktif. Berbagai gunung berapi yang tersebar di wilayah kepulauan Indonesia dikenal memiliki sejarah letusan yang memakan ribuan korban jiwa.
Namun potensi bencana gunung berapi yang sering luput dari perhatian adalah adanya gas beracun yang menyertai aktifitas vulkanik gunung-gunung berapi tersebut. Seperti pernah terjadi di kawasan Dieng pada 1966 di mana gas beracun yang berasal dari Kawah Sinila menyebabkan tewasnya puluhan penduduk desa. Oleh karena itu, potensi bahaya gas beracun ini juga perlu mendapat perhatian sebab seringkali sulit dideteksi secara kasat mata.
Permasalahan ini rupanya menjadi perhatian sekelompok mahasiswa UII yang mencoba untuk memberikan solusi melalui pendekatan ilmiah. Mereka berupaya mengembangkan alat yang dapat mendeteksi keberadaan gas beracun yang dikeluarkan oleh aktifitas vulkanik gunung berapi. Ketika mendeteksi adanya gas beracun, maka alat tersebut akan mengeluarkan bunyi alarm sebagai tanda bagi penduduk sekitar untuk segera mengevakuasi diri. Mereka berharap alat ini dapat digunakan sebagai perlengkapan mitigasi bencana yang bermanfaat bagi penduduk di kawasan gunung berapi.
Disampaikan oleh Alfi Ihda Amalia, mahasiswi Prodi Kimia UII yang turut mengembangkan alat ini, ide untuk merancang alat berawal dari ketertarikan untuk meneliti gas beracun yang sering menyertai aktifitas vulkanik gunung berapi. “Material-material gas yang dibawa akibat letusan gunung berapi seperti H2S (Hidrogen Sulfida) dalam konsentrasi yang tinggi dapat berbahaya bagi manusia dan lingkungan karena beracun”, ujarnya. Dari sinilah, ia bersama empat orang rekannya mengembangkan alat pendeteksi keberadaan gas H2S tersebut. Keempatnya masing-masing Muh. Supwatul Hakim, Febby Yulia Hastika, Septian Ramadan, dan Nurul Indriani.
1. Muh Supwatul Hakim
 
2. Febby Yulia Hastika
 
3. Septian Ramadhan
4. Nurul Indriani
Lalu bagaimana mereka mengembangkan alat yang dapat menjawab permasalahan itu. Diungkapkannya, bahwa salah satu metode untuk mendeteksi gas H2S adalah dengan melalui chemical sensor. “Gas H2S itu pada intinya terdiri dari unsur kimia yang akan memicu reaksi ketika berkontak dengan unsur kimia tertentu. Reaksi kimia inilah yang kita manfaatkan untuk mengecek keberadaan gas itu di suatu tempat sekaligus menyusun alat sensor”, tambahnya. Chemical sensor sendiri diracik dari campuran reagen yang dipreparasi dengan cara mencampur timbal asetat ke dalam THF (tetrahidro furan) dan campuran polimer.
Dijelaskannya satu rangkaian alat sensor terdiri dari berbagai komponen, seperti turbidimeter, reaktor gas, selang, baterai, alarm, dan chemical sensor sebagai pemicu reaksi dengan gas H2S. “Prinsip kerjanya ketika terdeteksi gas H2S melewati chemical sensor terjadi reaksi antara H2S dengan Tb asetat kemudian menghasilkan asam asetat. Asam asetat ini membuat sensor basah yang dapat mengalirkan listrik sehingga alarm berbunyi”, jelasnya. Untuk membuat sebuah rangkaian alat sensor ia memperkirakan dibutuhkan biaya kurang dari 500 ribu rupiah.