Jatuh Cinta: Dari Hidung Turun ke Hati?

 Netsains.Com – Somerset Maugham, seorang penulis Inggris, pernah menanyai salah seorang pacar H.G. Wells, mengapa seorang laki-laki gemuk, dan berwajah biasa, begitu beruntung dalam mendapatkan para wanita yang cantik? “Badannya memancarkan aroma madu,” ujar gadis itu. Meskipun tidak semua bau badan bisa dikatakan sensual atau jatuh cinta karenanya, bau alamiah yang dikeluarkan oleh manusia mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para ilmuwan di berbagai universitas di dunia.
Jatuh cinta adalah sebuah rasa yang dimiliki seseorang ketika melihat seseorang lainnya yang menarik. Apabila kedua orang ini cocok dan menjadi pasangan, maka rasa ini juga masih ada pada permulaan relasi. Perasaan ini muncul karena di dalam tubuh diproduksi beberapa zat-zat tertentu yang sedikit membius otak dan efeknya bisa disamakan dengan efek narkoba. zat-zat tertentu ini dinamakan feromon. Feromon membuat seseorang kecanduan sehingga ingin melihat pasangannya atau orang idamannya sesering mungkin.
Istilah feromon berasal dari bahasa Yunani yaitu phero yang artinya “pembawa” dan mone “sensasi”. Senyawa feromon sendiri didefinisikan sebagai suatu subtansi kimia yang berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Senyawa feromon pada manusia terutama dihasilkan oleh kalenjar endokrin pada ketiak, telinga, hidung, mulut, kulit, dan kemaluan. Feromone aktif apabila yang bersangkutan telah akil balig.
Sifat dari senyawa ini tidak kasat mata, mudah menguap, tidak dapat diukur, tetapi ada dan dapat dirasakan oleh manusia. Senyawa feromon ini biasa dikeluarkan oleh tubuh saat sedang berkeringat dan dapat tertahan dalam pakaian yang kita gunakan. Feromon pada manusia merupakan sinyal kimia yang berada di udara yang tidak bisa dideteksi melalui bau-bauan tapi hanya bisa dirasakan oleh vomeronasalorgan (VMO) di dalam indra pencium. Sinyal feromon ini diterima oleh VMO dan dijangkau oleh bagian otak bernama hipotalamus. Di sinilah terjadi perubahan hormon yang menghasilkan respons perilaku dan fisiologis.
Senyawa feromon dapat menimbulkan rasa ketertarikan antara dua orang berlainan jenis dengan bekerja sebagai pemicu dalam reaksi-reaksi kimia, ketika dua orang berdekatan dan bertatapan mata, maka feromon akan tercium oleh organ tubuh manusia yang paling sensitif yaitu VMO yaitu organ dalam lubang hidung yang mempunyai kepekaan ribuan kali lebih besar daripada indera penciuman.
VMO ini terhubung dengan hipotalamus pada bagian tengah otak melalui jaringan-jaringan syaraf. Setiap feromon berhembus dari tubuh, maka senyawa ini akan tercium oleh VMO dan selanjutnya sinyal ini akan diteruskan ke hipotalamus agar memberikan tanggapan. Dalam hitungan detik, maka akan ada respon dari otak melalui perubahan psikologis tubuh manusia baik itu perubahan pada detak jantung, pernafasan, temperatur tubuh, peningkatan kerja hormon testoteron atau hormon esterogen dan kalenjar keringat.
McClintock dan Kathleen Stern pada tahun 1988 dalam hasil penelitiannya di jurnal Nature menyatakan ada dua jenis feromon yang secara spesifik berpengaruh pada kesamaan siklus haid. Siklus menstruasi terdiri atas tiga fase, yakni menses, pra-ovulasi dan luteal alias pascaovulasi. Salah satu dari feromon dihasilkan oleh perempuan pada fase pra-ovulasi dari siklusnya dan mempercepat ovulasi di fase berikut.
Feromon lain dipancarkan pada saat ovulasi berlangsung. Sinyal ini memiliki efek memperlambat siklus. Hasil akhirnya adalah berupa siklus sejumlah perempuan yang tinggal saling berdekatan. Fenomena feromon sebagai bentuk komunikasi ini lama-lama mulai dicoba diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Terutama sejak ditemukan bahwa feromon juga dihasilkan kelenjar dalam tubuh manusia. Dan yang penting, bisa mempengaruhi hormon-hormon dalam tubuh manusia lainnya.
Feromon pertama ditemukan di Jerman, oleh Adolph Butenandt, ilmuwan yang juga menemukan hormon seks pada manusia yaitu estrogen, progesteron dan testosteron. Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga.Para Ilmuwan mula-mula melihat feromon adalah sebagai padanannya `parfum` di dunia manusia.Jean-Henri Fabre pada usia 19 tahun memulai karir sederhananya sebagai guru di Avignon, Perancis.
Sebagai guru ia punya minat yang kuat ke alam. Ia betah duduk berjam-jam mengamati kehidupan-kehidupan kecil yang sibuk sendiri di beranda belakang rumahnya. Bukan cuma duduk diam, Fabre membuat catatan dan eksperimen-eksperimennya sendiri.
Autodidak sejati, Fabre juga melatih dirinya melukis dan membuat illustrasi buat bukunya sendiri. Dari hasil pengamatan dan eksperimennya, Fabre menerbitkan 10 seri ensiklopedia tentang serangga `Souvenirs Entomologiques` yang di kemudian hari diakui sebagai karya klasik dalam dunia akademik Perancis.Charles Darwin, John Stuart Mill dan Louis Pasteur, raksasa-raksasa sains dan filosofi zaman itu mengagumi Fabre karena kecermatan dan detil pengamatannya.
Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan menemukan betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan kalau ngengat betina menghasilkan zat kimia tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan.Dengan kesimpulan Fabre ini, mulailah seluruh lapangan penelitian baru tentang feromon.
Efek dari senyawa feromon dan senyawa-senyawa kimia lain terhadap tubuh manusia dapatlah disamakan dengan efek narkoba yang akan membuat seseorang kecanduan sehingga ingin melihat pasangannya atau orang idamannya sesering mungkin. Perasaan cinta ini selang beberapa waktu akan menghilang karena produksi senyawa tersebut tidak berlangsung terus menerus. Kemampuan tubuh untuk menghasilkan feromon berkurang setelah dua sampai empat tahun. Akankah cinta kita terhadap pasangan kita akan hilang? Wallahu`alam. ***