{mosimage} Ilmuwan di Jepang telah membuat sebuah sel bahan-bakar hayati (biofuel cell) yang menghasilkan energi yang cukup untuk menjalankan sebuah mp3 player atau mobil remot mainan.
Dengan terinspirasi oleh proses pembangkitan energi pada makhluk-makhluk hidup, Tsuyonobu Hatazawa, dari Sony Corporation, Kanagawa, dan rekan-rekannya membuat sebuah bio-baterai yang menghasilkan listrik dari glukosa dengan menggunakan enzim sebagai katalis.
Sel biofule yang sederhana terdiri dari sebuah anoda dan sebuah katoda yang dipisahkan oleh sebuah membran penghantar foton. Sebuah bahan bakar terbaharukan, seperti gula, dioksidasi oleh mikroorganisme-mikroorganisme pada anoda, menghasilkan elektron dan proton. Proton berpindah melalui membran ke katoda sedangkan elektron ditransfer ke katoda melalui sebuah sirkuit eksternal. Elektron dan proton bergabung dengan oksigen pada katoda membentuk air.
Sampai sekarang, output energi dari sel-sel biofuel masih terlalu rendah untuk pengaplikasian praktis. Transfer elektron pada sebuah sel biofuel bisa berlangsung lambat sehingga Hatazawa menggunakan sebuah turunan naftoquinon − yang dikenal sebagai mediator transfer elektron − untuk mengacak elektron-elektron antara elektroda dan enzim. Ini meningkatkan kepadatan arus − sebuah ukuran laju dari reaksi elektrokimia − dan meningkatkan luaran daya.
Untuk lebih meningkatkan kepadatan arus, Hatazawa memadukan mediator tersebut dan enzim ke dalam sebuah anoda serat-karbon. Daerah permukaan yang luas dan porositas elektroda menghindari terjadinya gangguan transport glukosa dan mempertahankan aktivitas enzim. Mereka menggunakan rancangan yang serupa untuk mengoptimalkan katoda sehingga menyuplai oksigen yang cukup ke sel bahan bakar. Pada saat mereka menumpuk empat sel ini bersama-sama, mereka mencapai luaran daya sebesar 100 miliwatt − cukup untuk menjalankan sebuah mp3 player dengan speaker atau mobil remot yang kecil.

{mosimage}
Empat unit sel biofuel dalam rangkaian bisa menyalakan sebuah mp3 player lengkap dengan speaker

Adam Heller, seorang ahli di bidang bioelektrokimia dari Universitas Texas di Austin, Amerika Serikat, mengatakan penelitian ini "akan menjadi cikal bakal lahirnya sel-sel biofuel yang bermanfaat, setelah bertahun-tahun dilakukan penelitian yang tak kunjung membuahkan hasil".
Disadur dari : http://www.rsc.org/chemistryworld/
                     Oleh Soetrisno

sumber : http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=210

Jika kita berasumsi secara bebas dengan sebuah pertanyaan; jumlah korban mana yang paling banyak diantara jumlah orang yang meninggal karena radiasi nuklir dengan orang yang meninggal karena merokok?. Seandainya anda pakar kesehatan, tentu anda akan menjawab secara meyakinkan bahwa orang yang meninggal karena merokok, lebih banyak jumlahnya. Dan itu fakta. Tetapi dikarenakan media-media informasi seperti TV, surat kabar, ataupun internet, lebih banyak menyuguhkan negatifnya nuklir, sehingga sering mempengaruhi opini publik.
Anda bayangkan saja, jika anda disuguhkan suatu berita tentang peristiwa Hiroshima dan Nagasaki ataupun peristiwa Tragedi Chernobyl yang merengut nyawa ribuan orang sekaligus. Tentu anda akan menyatakan nuklir sangat berbahaya dan berasumsi jumlah korban nukilr lebih banyak karena korbannya secara massal. Hal ini jauh berbeda dengan korban merokok, tentu kita tidak pernah mendengar adanya korban massal akibat keracunan asap rokok. Yang ada korban akibat merokok berjatuhan disekitar kita, yang terkadang tidak kita sadari. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) diperkirakan 4,9 juta orang meninggal dunia tiap tahunnya. Umumnya vonis akhir secara kesehatan bagi korban merokok ini adalah karena mengidap penyakit kanker.

Deskripsi diatas adalah salah satu contoh bahwa radiasi alam lebih berbahaya dari radiasi nuklir? kok bisa? Sebenarnya tanpa disadari oleh para perokok, bahwa selama mereka merokok, mereka telah terpapar radiasi salah satu gas radioaktif alam yaitu gas radon yang terdapat dalam daun tembakau. Radioaktif alam ini berasal dari pupuk fospat (P) yang dipupukkan pada daun tembakau sehingga gas radon terakumulasi di dalam tembakau. Sehingga perokok akan mudah terkena kanker paru-paru karena radiasi dari gas radon tersebut dapat masuk ke dalam paru-paru.
Secara umum gas radon ini lebih banyak terserap oleh para penambang bahan galian, karena pekerja tambang secara langsung menghirup gas radon secara berlebihan. Menurut perkiraan resiko kematian akibat gas radon mencapai 0,005%. Di Amerika Serikat misalnya dari sekitar 200 juta penduduknya diperkirakan ada 10-20 ribu orang meninggal karena menghirup gas radon.
Di Indonesia sendiri diketahui beberapa bahan bangunan seperti asbes dan gypsum yang banyak digunakan sebagai atap, semen, dan lain sebagainya mengandung bahan radioaktif. Di Swedia yang beriklim dingin sehingga rumah-rumah dibuat dari tembok yang tebal dengan ventilasi yang sedikit. Karena itu penumpukkan gas radon dalam rumah menjadi berlebih sehingga ada beberapa rumah yang mengandung unsur radiokatif alam seperti U238, Th232, dan K40 di atas batas kewajaran. Kadar gas radon dalam rumah tersebut mencapai 260 Bq/m3 udara, padahal kadar wajar di udara adalah 10 Bq/m3.
Selain radiasi gas radon, beberapa radiasi alam yang lain adalah radiasi kosmik dan sinar UV dari lampu neon. Bila dibandingkan dengan radiasi alam ini, bahaya radiasi nuklir jauh lebih kecil dari radiasi alam yang secara wajar kita terima. Hal ini dikarenakan intensitas kita terpapar oleh radiasi alam hampir setiap hari sedangkan radiasi nuklir hanya terjadi apabila terjadi kebocoran reaktor. Tetapi dengan kemajuan teknologi kemungkinan kebocoran itu sangat kecil karena telah dibuatnya keselamatan reaktor yang berlipat-lipat. Selain itu pula, radiasi nuklir buatan diuntungkan dengan waktu paruh dari sumber radiasi yang singkat, diantaranya Ce137, Co60, Xe, dan I131. Radiasi buatan ini mempunyai waktu paruh yang pendek dan zat radiokatif ini dapat dinyatakan habis jika telah 10 kali waktu paruhnya. Semisal waktu paruh dari I131 adalah 8 hari, jadi apabila terjadi kebocoran reaktor, maka reaksi yodium ini akan habis dalam waktu 80 hari.
Efek Radiasi

Efek radiasi secara umum bagi tubuh manusia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:

1. Efek Stokastik
Efek stokastik yaitu efek radiasi yang kemunculannya pada individu tidak bisa dipastikan dengan faktor 10-5 (dari 100.000 orang diperkirakan yang terkena hanya 1 orang). Efek dari radiasi ini dikatakan stokastik jika radiasi yang terserap oleh tubuh dalam dosis rendah yaitu 0,25-1.000 mSv. Misalnya saja pada alat diagnosa gondok, penerimaan radiasi rendah ini diperbolehkan bukan hanya karena aman namun justru menguntungkan.

2. Efek Deterministik
Efek deterministik yaitu efek radiasi yang pasti muncul bila jaringan tubuh terkena paparan radiasi pengionan. Efek determiristik dapat terjadi bila dosis radiasi yang diterima telah lebih dari ambang batas seharusnya yaitu dibawah 3.000 mSv. Bila radiasi yang diterima diantara 3.000-6.000 mSv maka akan menyebabkan kulit memerah atau kerontokan rambut. 6.000-12.000 mSv akan menyebabkan perasaan mual, nafsu makan berkurang, lesu, lemah, demam, keringat yang berlebihan hingga menyebabkan shock yang beberapa saat akan timbul keluhan yang lebih parah yaitu nyeri perut, rambut rontok, bahkan kematian.
Tetapi kemungkinan efek deterministik ini sangat kecil mengenai kita, dikarenakan berdasarkan survei lembaga penelitian yang menangani nuklir, radiasi nuklir hanya sebesar 0.08 mSv.

Untuk pekerja di reaktor nuklir untuk menangai efek radiasi ini agar tidak sampai ke tubuh individu, terdapat tiga dasar proteksi radiasi (keselamatan radiasi). Yaitu pengaturan waktu kerja dengan radiasi, pengaturan jarak dengan sumber radiasi, dan penggunaan bahan pelindung radiasi. Semakin pendek waktu yang digunakan untuk berada di medan radiasi, semakin jauh dari radiasi dan semakin tebal bahan pelindung, akan memperkecil dosis radiasi yang diterima.

Penutup
Dari penjelasan di atas, dapatlah kita ketahui bahwa nuklir bukanlah momok yang mengerikan bagi kita. Berbagai hal yang kita takutkan ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa teknologi nuklir adalah teknologi ramah lingkungan dan berbagai manfaat dapat kita peroleh dari nuklir ini. Di sini pemerintah dan masyarakat harus mencoba untuk memahami nuklir secara lebih lagi. Karena boleh jadi, perbedaan persepsi dan pertentangan opini tentang pengembangan nuklir di Indonesia, yang selama ini terjadi, boleh jadi dikarenakan karena kita tidak tahu dan terlalu trauma dengan tragedi nuklir masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA
· Akhadi, Muklis, 1997. Pengantar Teknologi Nuklir. PT. Rineka Cipta, Jakarta
· Batan Bandung. Pustek Nuklir Bahan dan Radiometri. (www.batan-bdg.go.id)
· Batan Serpong. Nuklir, Radiasi dan Pengendaliannya. (serpong6.batan.go.id)
· Laporan Analisis Keselamatan (LAK) Reaktor G. A Siwabessy
· Hendriyanto Hadithjayono. 2005. Keselamatan Reaktor Riset Baru dan Yang Telah Ada Dalam Kaitan Dengan Peristiwa Eksternal. Dokumen IAEA Safety Report Series No. 41. Pusat Pendidikan dan Pelatihan BATAN
· Liya Nurhayati. 2004. Nuklir, Inti Atom Tanpa Kulit. Artikel pada Majalah Natural Edisi IX/Tahun V/Maret 2004. FMIPA Universitas Lampung. Bandar Lampung
· M. Nur. 2007. Reaktor Nuklir, Dari Riset Hingga Bom Atom. Situs Surat Kabar Pikiran Rakyat
· Rohadi Awaludin. 2004. Mengelas Molekul Menggunakan Radiasi Nuklir. Kompas 21 April 2004 (www.fisikanet.lipi.go.id)
· Sinly Evan Putra. 2006. Nuklir. Situs Web Kimia Indonesia
· Sinly Evan Putra. 2005. Rokok, Laboratorium Reaksi Kimia Berbahaya. Situs Web Kimia Indonesia

Ditulis Oleh : Sinly Evan Putra
Sumber : http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=203

Aktivitas praktikum ataupun research akan menjadi sebuah kegiatan yang akan menemani aktivitas belajar mahasiswa.  Kegiatan yang di lakukan di laboratorium akan menuntut mahasiswa mempunyai bekal ketrampilan pendukung.  Terutama sekali bagi mahasiswa semester awal yang barangkali belum pernah atau jarang melakukan praktikum di laboratorium.

Ketrampilan dan pengetahuan pendukung yang diperlukan salah satunya adalah pengetahuan dasar keselamatan kerja dan teknik dasar penggunaan alat dan bahan kimia.  Bekal ini sangat penting bagi mahasiswa sebelum mereka mengikuti kegiatan praktimum.  Mengingat segala aktivitas di laboratorium berarti mahasiswa akan berinteraksi dengan bahan kimia, alat-alat gelas, instrumentasi, dan utilitas laboratorium seperti air, sumber api, serta listrik.  Interaksi dalam laboratorium sangat rentan terjadi kecelakaan kerja yang bisa membahayakan mahasiswa dan lingkungan sekitar.

Workshop keselamatan kerja laboratorium (safety lab.) diharapkan dapat memberikan wawasan tentang bahaya-bahaya yang mungkin timbul, entah karena faktor manusia, bahaya alat, bahaya bahan kimia, kebakaran, bahaya listrik, dan lain-lain termasuk upaya pencegahan serta pertolongan pertama pada kecelakaan.  Tentu saja laboratorium memiliki alat-alat keselamatan kerja yang setiap mahasiswa harus mampu menggunakannya dengan tepat.

Sedangkan workshop teknik dasar laboratorium akan memberikan bekal kepada mahasiswa tentang pengenalan alat, penggunaan, dan perawatannya serta setting beberapa alat yang sering digunakan seperti seperangkat distilasi, refluks, dan ekstraksi.  Harapannya ketika sudah memasuki masa praktikum mahasiswa menjadi lebih akrab dengan laat-alat gelas yang ada sehingga lebih terampil dan dapat menggunakanya secara tepat.

Pelaksanaan
        Hari          : Jum'at, 17 Oktober 2008
        Pukul       : 07.30 – 14.30 WIB
        Tempat     : Ruang Sidang II Lt 3 dan Laboratorium Kimia

Pembicara
Pemateri Utama  : Riyanto, M.Si., Ph.D
Instruktur          : 1. Dr. Noor Fitri, M.Si.
                            2. Dwiarso Rubiyanto, M.Si.
                            3. Tatang Shabur Julianto, M.Si.
                            4. Thorikul Huda, S.Si.

Alhamdulillah Proses akreditasi Program Studi Ilmu Kimia FMIPA UII telah sampai pada tahap akhir, yaitu visitasi yang telah dilaksanakan pada hari Senin, 13 Oktober 2008.

Kami bersyukur juga telah diberikan kelancaran dalam proses visitasi tersebut. Reviewer yang didatangkan oleh BAN-PT 2 orang yakni Prof. Dr. Taslim dari ITS dan Prof. Dr. M. Nasikhin dari UI. ya kebetulan Prof. Dr. Hardjono itu adalah dosen pembimbing dari Prof. Dr. Taslim ketika mengambil program master di UGM, jadi suasana seperti ayah bertemu dengan anaknya yang lama tak bersua, penuh dengan suasana kekeluargaan. semoga dengan visistasi ini  Program Studi Ilmu Kimia mendapatkan hasil yang terbaik. amin. Kami Juga mhon do'a restu dari anda sekalian. terimakasih.
Tim Akreditasi Prodi Ilmu Kimia 2008

 

KELUARGA BESAR
PROGRAM STUDI ILMU KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA

Mengucapkan :

Selamat Hari Raya 'Iedul Fitri 1 Syawal 1429 H

" Taqoballahuminna wa minkun, Minal aidin wal Faizin "

MOHON MAAF LAHIR & BATHIN

{mosimage}Timbal termasuk salah satu logam berat. Logam ini turut ambil bagian dalam runtuhnya Kerajaan Romawi. Timbal bisa menyebabkan kerusakan otak, darah, ginjal, dan hati yang tidak dapat disembuhkan. Tetapi mengapa timbal sedemikian toksiknya?

Dengan menggunakan beberapa senyawa model enzim dan kimia kuantum, Olivier Parisel dan Christophe Gourlaouen dari Pierre and Marie Curie University, di Paris, Perancis, sekarang yakin mereka telah menemukan jawabannya. Mereka mengatakan bahwa penelitian yang mereka lakukan dapat membantu mencari cara yang lebih baik dalam menghilangkan timbal dari tubuh seseorang.
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa timbal menjadi beracun dengan menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan zink, dari protein-proteinnya. Calmodulin misalnya, mengikat dan mengangkut empat kation kalsium. Jika kation-kation timbal menggantikan keempat kation kalsium tersebut, efisiensi enzim ini akan berkurang. Dan timbal menghambat total aktivitas enzim biosintetik heme, yakni asam delta-aminolevulinat dehidratase (delta-ALAD), ketika logam ini menggantikan kation zink tunggalnya, sehingga mengganggu pembentukan darah dan menghasilkan anemia parah.
Tetapi Parisel dan Giurlaouen telah menemukan bahwa aksi beracun timbal tidak hanya karena kemampuannya terikat ke protein-protein ini. Mereka mengatakan, toksisitas logam ini juga disebabkan oleh efek pasangan inert.
Walaupun timbal dan karbon terletak dalam golongan yang sama dalam tabel periodik, yang masing-masing memiliki empat elektron yang tersedia untuk membentuk ikatan dengan atom-atom lain, namun logam berat cenderung hanya menggunakan dua dari elektron ini. Sela energi (energy gap) yang lebih besar antara elektron-elektron terluar timbal berarti bahwa dua dari elektron bebasnya terikat lebih kuat ke inti yang jauh lebih besar dan lebih bermuatan positif. Jadi apabila timbal terikat ke atom-atom lain, pasangan bebas ini tidak hanya dapat terlepas, tetapi juga bisa terlibat dalam ikatan. Ini bisa sangat merusak tatanan atom di sekitar timbal; bagi sebuah enzim ini sangat berbahaya.
Sangat berat
Parisel dan Gourlousen menggunakan senyawa-senyawa model untuk meniru tempat-tempat pengikatan kalsium dan zink pada calmodulin dan delta-ALAD. Setelah menambahkan kation-kation timbal ke model-model yang mereka buat, mereka menggunakan perhitungan kuantum untuk menelusuri perubahan-perubahan struktural yang disebabkan oleh logam berat tersebut.
Untuk model calmodulin, tidak ada distrosi besar yang terjadi, sejalan dengan pengamatan bahwa timbal tidak sepenuhnya menghambat aktivitas calmodulin. Tetapi untuk model delta-ALAD, timbal menimbulkan distorsi kuat dalam model yang terkait langsung dengan penempatan posisi pasangan elektron bebas timbal. Ini bisa menjelaskan mengapa timbal menghambat aktivitas delta-ALAD, kata para peneliti ini.
Walaupun timbal tetraetil telah lama dikurangi sebagai aditif bahan bakar (bensin), namun produksi timbal di dunia dan senyawa-senyawanya terus meningkat karena permintaan dari industri baterai, kaca, dan sirkuit-sirkuit elektronik yang bergantung pada unsur ini. Walaupun antidotum (penawar racun) untuk keracunan timbal sekarang ini menggunakan senyawa-senyawa yang mengikat berbagai ion logam dalam tubuh, namun berpotensi menyebabkan kerusakan dengan mengikat logam-logam penting disamping timbal.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa kita bisa membuat pengkhelat timbal yang lebih selektif," kata Parisel. "Ini mungkin memerlukan enzim-enzim serupa hasil rekayasa biologis dengan tambahan tempat-tempat pengikatan timbal. Atau kita bisa menggunakan ligan-ligan dari tanaman tertentu yang diketahui mengakumulasi logam-logam berat dalam jumlah berlebih."

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

{mosimage}Di saat para peneliti berupaya keras mencari cara untuk mengkonversi limbah tanaman menjadi bahan bakar etanol, ilmuwan di Amerika Serikat telah menemukan sebuah proses kimia sederhana untuk mengkonversi selulosa menjadi molekul-molekul furfural-sebuah sumber bahan bakar hayati alternatif. Teknik ini baru dalam tahapan pengujian tetapi bisa menghasilkan bahan bakar furfural dari berbagai material selulosa, termasuk limbah dari industri kehutanan dan makanan, dan bahkan koran bekas.

Mark Mascal dan Edward Nikitin dari Universitas California, mengatakan metode ini menghasilkan bahan bakar furfural dari selulosa buangan dengan hasil yang sangat tinggi. Produk utamanya, cairan organik 5-(klorometil)furfural (CMF), bisa dikonversi dalam satu tahapan sederhana menjadi etoksimetilfurfural (EMF), sebuah zat aditif disel yang potensial.
Mascal mengatakan furfural adalah alternatif yang lebih baik dibanding bioetanol dari selulosa, karena jumlah perlakuan yang diperlukan dalam produksi bioetanol menjadikan proses ini tidak ekonomis. "Membuat furfural tentu lebih murah," kata dia. "Metode yang kami gunakan tidak lebih dari penggunaan asam hidroklorat. Sehingga enzim dan pra-perlakuan tidak diperlukan (untuk mengurai selulosa), atau melakukan detoksifikasi atau fermentasi."

{mosimage}
Selulosa bisa dikonversi secara langsung menjadi bahan bakar hayati furanat dengan persentase hasil yang tinggi

Mereka melumatkan selulosa dengan asam hidroklorat yang mengandung lithium klorida, dan dengan menggunakan ekstrak diklorometana CMF, bersama dengan zat organik berbasis furan lainnya. CMF selanjutnya bisa dikonversi menjadi produk furanat, EMF, yang telah menunjukkan hasil menjanjikan ketika diuji pada campuran-campuran disel.
Akan tetapi, karena konversi ini memerlukan etanol, Mascal menganggap mungkin lebih baik melakukan sebuah konversi alternatif – hidrogenasi katalitik menjadi 5-metilfurfural (MF), sebuah bahan bakar yang belum diuji. "Hidrogen mudah diperoleh, jadi jika kita bisa mengganti etanol, saya rasa hasil yang dicapai akan lebih baik," kata dia.
"Saya yakin konversi ini bisa dilakukan dengan efektif dalam skala laboratorium, tetapi tentu ada perbedaan antara melakukan sesuatu dengan jumlah satu liter dan satu ember," papar Arthur Ragauskas, seorang ahli bahan bakar hayati di US Department of Energy's BioEnergy Science Center. Dia juga menganggap bahwa penghilangan klorin, yang dalam produk akhir bisa menyebabkan korosi, dapat menimbulkan masalah jika proses konversi sudah ini dilakukan dalam skala industri.
Mascal mengakui bahwa klorin, walaupun dengan kadar yang rendah, perlu dikurangi lebih lanjut. Akan tetapi, dia mengatakan dia yakin ini tidak akan menjadi kendala besar. "Teknologi ini sekarang masih dalam tahap percobaan, tetapi jika ada yang benar-benar ingin menggunakannya, tentu mereka dapat membuat proses-proses yang dapat menghilangkan klorin dan kontaminan lainnya dari produk akhir."
Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

{mosimage}Ilmuwan di Amerika Serikat telah membuat sebuah sensor massa berskala-nano yang bisa menimbang molekul dengan presisi tingkat atom.
Kenneth Jensen dan rekan-rekannya di Universitas California, Berkeley, membuat alat ini dari sebuah tabung-nano karbon berdinding ganda dengan sebuah elektroda yang dipasang pada salah satu ujungnya. Partikel-partikel yang mendarat pada tabung-nano ini bisa ditimbang karena dengan menambah massa tabung partikel-partikel tersebut mengurangi frekuensi dimana tabung bervibrasi.
Tim peneliti ini menguji alat yang mereka buat dengan menimbang atom-atom emas, yang diuapkan ke atas tabung-nano. Hasil yang mereka peroleh menunjukkan bahwa alat ini mampu mengukur massa sekecil dua perlima massa sebuah atom emas (1,3 x 10-25 kg) dalam waktu satu detik.
{mosimage} 
Gambar TEM dari resonator nanomekanik yang dibuat dari tabung-nano karbon berdinding ganda

Ide penggunaan resonator untuk mengukur massa bukanlah hal yang baru, dan resonator mekanik berskala nano telah dibuat sebelumnya. Tetapi para peneliti dulunya berfokus pada pembuatan resonator dengan menggunakan material-material konvensional seperti silikon, kata Jensen. "Dengan menggunakan tabung-nano ketimbang silikon kami mampu menjadikan resonator kami ini 1000 kali lebih kecil volumenya. Ini cukup untuk meningkatkan resolusi agar dapat melihat atom-atom tunggal," kata dia. Kesensitifannya yang meningkat berarti bahwa resonator ini bekerja pada suhu kamar. "Biasanya orang mencoba untuk meningkatkan kinerja alat ini dengan menggunakannya pada suhu yang lebih rendah," tambah Jensen. Beroperasi pada suhu rendah bisa menghilangkan derau dari sebuah sistem tetapi memerlukan perlengkapan pendingin yang tidak sederhana.
Meskipun resonator tersebut belum memiliki kesensitifan yang sama seperti spektrometer massa, Jensen memaparkan bahwa sistem ini memiliki kelebihan-kelebihan khusus. Alat ini bisa digunakan dengan atom atau molekul netral, sehingga menghindari ionisasi sampel yang destruktuf seperti protein. Berbeda dengan spektrometer massa, resonator ini juga menjadi lebih sensitif pada rentang massa yang lebih tinggi, sehingga membuatnya lebih cocok untuk mengukur biomolekul-biomolekul yang besar seperti DNA. Terakhir, alat ini cukup kecil sehingga bisa digunakan pada sebuah chip.
Renato Zenobi. Seorang ahli spektrometri massa di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) di Zurich terkesan dengan kesensitifan alat yang ditemukan ini. Tetapi saat ini, kata dia, alat ini perlu dikalibrasi menggunakan mikroskop elektron transmisi, dan alat ini sulit dibuat dalam skala besar. Meskipun dalam teori alat ini bisa digunakan untuk biomolekul, namun karakteristik perlekatannya ke tabung-nano masih belum diketahui. "Dan jika anda benar-benar ingin menerapkan teknik ini terhadap biomolekul mungkin anda masih harus melakukannya dalam fase gas – kemungkinan dengan ionisasi," kata Zenobi.
Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

Anda bosan sering membersihkan kamar mandi? Atau lelah membersihkan jendela setiap hari? Berkat usaha sekelompok ilmuwan di Israel pekerjaan-pekerjaan yang membosankan ini kemungkinan tidak perlu dilakukan lagi.
{mosimage}
Itamar Willner dan rekan-rekannya di Universitas Hebrew Jerussalem telah membuat sebuah "permukaan cerdas" berlapis quinin yang keterbasahan-nya bisa diubah dengan menggunakan sebuah pemicu listrik atau pemicu kimiawi. Permukaan-permukaan seperti ini dibuat dengan terinspirasi oleh sistem-sistem pembersihan-otomatis yang ada di alam. Bunga teratai, misalnya, memiliki permukaan hidrofob yang memungkinkan tetes-tetes air mengalir pada daun, menghilangkan kotoran dari permukaannya.
Willner dan timnya melapisi sebuah permukaan emas dengan benzoquinon hidrofob, yang dapat direduksi menjadi hidroquinon hidrofil dengan menggunakan tegangan listrik atau agen pereduksi kimiawi. Hidroquinon memiliki dua gugus hidroksil yang berinteraksi kuat dengan air, menyebabkan permukaan menjadi "lebih basah" jika tereduksi.
"Permukaan hidroquinon/benzoquinon ini dikembangkan dari sebuah sistem yang jauh lebih kompleks, yang dulunya tidak dapat berfungsi meski telah banyak upaya yang dilakukan. Kami cukup terkejut dengan betapa kuatnya sistem yang sederhana ini dan betapa dramatisnya perubahan yang kami amati," kata Willner.
Permukaan cerdas ini mudah dibuat dan ukuran quinon yang kecil berarti bahwa banyak molekul yang bisa dilapiskan ke permukaan, sehingga menyebabkan perubahan makroskopis yang besar untuk keterbasahan permukaan.
Selain pengaplikasian pembersihan-otomatis, permukaan-permukaan yang cerdas ini juga bisa digunakan pada piranti-piranti mikofluida sehingga bisa memberikan prosedur analitik baru untuk dignostik klinis. Sebagai contoh, jika bagian dalam dari sebuah pembuluh kapiler dilapisi dengan lapisan konduktif yang difungsikan dengan lapisan quinin Willner, pembuluh ini bisa digunakan untuk menyedot cairan dari sel atau organ dalam volume kecil.
"Ide cemerlang untuk membuat sebuah permukaan cerdas," kata Jilie Kong, seorang ahli mikrofluida di Universitas Fudan, Shanghai. "Perubahan kehidrofoban/kehidrofilan yang dapat balik (reversibel) menjanjikan dalam perancangan chip-chip mikrofluida yang baru atau biosensor," kata Kong.
Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

Kita umumnya berpikir otomotif dan industri adalah sumber utama dari polusi. Pakta Clean Air tahun 1970, direvisi tahun 1990, telah berhasil mengurangi beberapa emisi di ruang terbuka; namun ancaman polutan seseorang mungkin lebih besar berada di dalam ruangan dibandingkan di ruang terbuka.

Sebagai contoh, cat kuku melepaskan lebih banyak formaldehida / formalin (H2CO) dibandingkan dengan papan kayu yang umum digunakan di konstruksi bangunan di amerika. Formaldehida adalah sebuah senyawa organik yang volatil (SOV), dan umum digunakan sebagai pembersih lantai dan bahan pelapis.

Benzen (C6H6), sebuah SOV lainnya adalah bahan karsinogen. Seorang peneliti dari Environmental Protection Agency Amerika, Lance A. Wallace mengidentifikasi sumber dari semua emisi benzen dan membandingkannya dengan sumber-sumber benzen yang umumnya masyarakat hirup. Hasil yang ditunjukkan oleh grafik dibawah mengindikasikan bahwa 45% dari pendedahan masyarakat Amerika terhadap benzen berasal dari kegiatan merokok, baik aktif dan pasif. Namun asap tembakau hanya bernilai 0,1% dari emisi total. Selain itu, otomotif adalah penyumbang terbesar dari benzen yang berada di atmosfer (82%), namun benzen yang berasal dari sumber ini hanya 36% dari pendedahan seorang individu terhadap benzen di Amerika.
Dalam kata lain, jika semua emisi benzen dikurangi di atmosfer maka dampaknya terhadap pendedahan seseorang terhadap benzen jauh lebih kecil dibandingkan bila kita mengurangi kegiatan merokok. Jadi secara ironis, bila kita ingin menyelamatkan diri maka bukan asap kendaraan lah yang perlu kita kurangi, tetapi mengurangi dan menghilangkan kegiatan merokok.
Pendedahan terhadap bahan kimia toksik lainnya cenderung disebabkan produk-produk dalam ruangan. Sebagai contoh, penyemprot ruangan, obat nyamuk, dan karbol adalah sumber paradiklorobenzen (C6H4Cl2), yang digolongkan sebagai SOV dan karsinogen. Pendedahan terhadap pestisida lebih sering terjadi di dalam ruangan dibandingkan di ruang terbuka. Contoh lain SOV adalah tetrakloroetilen (C2Cl4), digunakan sebagai bahan pembersih dalam pencucian pakaian dengan metode dry-clean. Pemanggang dan alat dapur lain yang tidak diset dengan baik dapat melepaskan karbon monoksida di dalam rumah.
Divisi Seattle dari American Lung Asssociation mensponsori sebuah program bernama "Master Home Environmentalists", dimana sukarelawan terlatih menolong para warga untuk mengkontrol bahan kimia di dalam rumah. Program ini telah menolong para penderita asma untuk menghilangkan polutan dalam ruangan.
Salah satu penyumbang terbesar polutan dalam ruangan adalah pembersihan karpet, karena ini mengumpulkan beberapa senyawa kimia yang masuk ke dalam rumah. Seorang anak memiliki tingkat dedah terhadap kadmium, timbal, bifenil terpoliklorinasi dan logam lainnya berasal dari pembersihan karpet. Debu juga merupakan masalah kesehatan, terutama partikel-partikel dengan ukuran 10 mikron dan yang lebih kecil.
Banyak sumber polutan rumah tangga dapat dikontrol bahkan dihilangkan. Hal sederhana seperti menggunakan karpet di depan pintu dapat mengurangi senyawa-senyawa kimia berbahaya yang dapat masuk ke dalam rumah. Tips lainnya dalah hilangkan penyemprot ruangan dan sumber lain paradiklorobenzen. Jangan menyimpan bensin di ruangan bawah tanah. Gunakan penyedot debu yang baik untuk pembersihan karpet.

Penulis : Tomi Rustamiaji, S.Si (Institut Teknologi Bandung)
sumber  : http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=139